Merbabu
Seminggu sebelum berangkat, saya mengirimkan screenshot perkiraan cuaca ke grup wahtsapp. Terlihat bahwa cuaca ditanggal kami akan mendaki selalu hujan. Tidak ada yang merespon, saya sendiri pun masih optimis bahwa cuaca akan berubah.
Hari Jumat pagi, sesuai dengan persetujuan, saya dijemput di depan hotel Peninsula. Saya sudah bersiap-siap sejak pagi. Peralatan sudah sata siapkan jauh hari sebelumnya jadi saya tinggal madi dan memesan grab. Kira-kira jam 8.30 keuda teman saya yang adalah kakak adik menghampiri saya, Angela dan Adri.. Saya sangat bersemangat di pagi itu, mengingat perjalanan ini sudah lama kami rencanakan. tim kami ada 7 orang, terbagi dalam 3 kelompok. 2 kelompok dari jakarta yang masing-masing 3 orng, satu kelompok yaitu teman saya dari papua. Teman saya yang dari Papua mengalami masalah dengan penerbangannya sehingga dia tidak bisa tiba tepat waktu di penginapan.
Perjalanan menuju penginapan kami ditempuh sekitar 10 jam. Kami tidak mengalami kendala yang berarti. Kami berhenti di beberapa rest area untuk makan dan juga meluruskan kaki kami. Saya mengusulkan untuk makan siang di rest area yang sebelumnya adalah pabrik gula. Teryata rest area itu berada di seberang jalan, arah berlawanan dengan arah kami yaitu dari Jakarta ke Semarang. Akhirnya kami harus keluar tol dan mencari jalan untuk putar balik. Rest areanya luas dan bersih.
Perjalanan kami lanjutkan melewati semarang dan kahirnya keluar di exit salatiga menuju boyolali. Tim kedua masih berada di belakang karena mereka berangkatnya setelah makan siang. Memasuki kota Boyolali suasana menjadi lebih sepi dan kental dengan suasana pedesaan. Suasana yang membuat rileks jauh dari kebisingan kota. Untuk menuju ke penginapan kami harus keluar lagi dari kota Boyolali dan melewati jalan yang mendaki. Tiba-tiba hujan deras. Saat itu kira-kira pukul 6 sore. Jalanan yang berkelok-kelok membuat driver harus ekstra hati-hati. Jarak pandang tidak begitu jauh kedepan. Sesekali kami harus berhenti menghindari mobil yang datang dari arah berlawanan karena jalanan tidak terlalu lebar. Tampak diluar sana kabut yang tebal, membuat kami tidak bisa melihat suasana tebing ataupun kebun sayur warga. Akhirnya kami tiba di penginapan yang sudah dipesan oleh teman saya.
Udara dingin yang menusuk langsung menyapa kami ketika membuka pintu mobil. Saya melihat laporan cuaca suhunya diwabah 10 derajat. Kami disambut oleh penjaga Villa yang sangat ramah. Keramahan yang tidak sering kita jumpai di Jakarta. Beliau menjelaskan apa saja yang perlu kami perhatikan, mulai dari kamar, toilet, cara menyalakan heater, dan juga dapur. Kami sangat beruntung karena diberika Villa yang besar. Seharusnya cukup untuk 30 orang tapi kami hanya bertujuh. Kami memutuhkan untuk tinggal di lantai dua dimana kasur-kasur ada di ruang yang sama. Dengan begitu kami bisa berdiskusi lebih leluasa. Selain itu, jika tidur di lantai bawah, di dalam kamar, suasananya sangat sunyi terkesan horror. Saat itu hujan di luar belum berhenti.
Kami bertiga mulai mengeluarkan barang-barang kami. Hal pertama yang terpikirkan adalah apakah kami bisa tahan untuk mandi dengan suhu satu digit ini. Untungnya heater air yang disediakan berfungsi dengan baik. Kami bisa mandi dengan air hangat. Setelah mandi, penjaga Villa sudah membawakan makan malam yang kami pesan tadi berupa ayam goreng dan tahu tempe. Kedua teman saya saat itu sedang pantang daging, jadi hanya saya yang makan ayam goreng. Teman kami, kelompok kedua belum juga tiba. Mereka masih dalam perjalanan. Setelah menyelesaikan makan malam kami, kami mempersiapkan peralatan dan logistik yang akan dibawa besok pagi.
Suasana di luar masih hujan dan berangin. Keterangan dari penjaga VIlla, beberapa hari terakhir memang selalu hujan sekita sore hari sampai malam. Saya pun mengecek perkiraan cuaca di Gunung Merbabu. Ternyata cuacanya sangat ekstrim untuk besok pagi. Terihat perkiraan hujan yang mencapai 98%. Perkiraan yang belum pernah saya liat sebelumnya. Saya sering mengecek cuaca ketika berada di jakarta, namun perkiraan hujannya berada di bawah 50%. Jadi kemungkinan adanya hujan kadang tidak terjadi. Namun disini berbeda. Selain itu suhunya mencapai 0 drajad ditengah malam, dan disetartai hujan es. Saat itu saya mulai ragu untuk meneruskan perjalanan. Apakah ini aman? Perasaan yang sama ketika saya melakukan hiking di kutub utara Swedia, “apakah ini aman?”. Saat itu hujannya tidak terlalu deras, tapi perjalanan saya cukup jauh. Tapi akhirnya saya lakukan juga. Saya menyampaikan perkiraan cuaca ini ke teman saya. Sang kakak juga mulai ragu, namun sang adik mencoba untuk meyakinkan kami bahwa besok cuaca akan baik baik saja. Sebagai info, teman-teman saya ini sudah sering naik gunung, jadi saya berfikiran positif saja bahwa mereka memiliki pengalaman dalam menghadapi keadaan seperti ini.
Saya akhirnya memutukan untuk tidur. Saya tidak bisa tidur nyenyak karena suasana yang dingin dan juga agak berisik. Saya juga tidak bisa mematikan semua lampu. Tengah malam, tim kedua akhirnya tiba. Deny, Vian, dan Fitri. Mereka sempat tersesat dan harus melewati jalan yang sempit. Sepertinya mereka mengambil exit toll yang berbeda dengan kami. Mereka segera membersihkan diri dan juga beristirahat.
Pagi-pagi saya sudah bangun seperti kebiasaan saya. Saya melihat keadaan di luar, cuaca sudah lebih baik. Hujan sudah tidak terlihat lagi, namun kabut masih tebal menutupi pemandangan. Yang lain pun juga mulai bagun satu per satu. Kami menyantap sarapan yang diberikan oleh penjaga Villa. Nasi goreng. Makanan yang sempurna untuk memulai aktifitas pagi hari. Teh hangat pun sudah disiapkan. Setelah makan saya memutuskan untuk mandi supaya lebih segar dan menyesuaikan suhu tubuh dengan lingkungan sekitar. Saya pun memakai perlengkapan hiking yang sudah saya persiapkan. Saya memakai baju long john, baju hiking, rompi dan jaket. Saya sepertinya berlebihan. Hahaha. Saya melihat teman saya tidak terlalu heboh. Saya tau bahwa apa yang saya kenakan akan membuat saya mengeluarkan banyak keringat yang ujungnya membuat saya kedinginan. Akhirna saya melepaskan long john dan juga rompi.
Mengenai cuaca, Deny dan Vian juga sependapat dengan Adri. Semua akan baik-baik saja setelah siang hari. Kita juga sudah datang sejauh ini, masakan tidak jadi berangkat. Saya dang Angela sudah sempat berdiskusi tadi malam untuk membuat plan B jika kami tidak jadi naik ke Merbabu. Tapi akhirnya kami sepakat untuk melanjutkan perjalanan kami. Walaupun demikian, dalam hati saya masih ada sedikit keraguan. Kami menggunakan mobil Vian untuk menuju ke basecamp Selo. Dalam perjalanan kami sempat bertemu dengan jalan tanah longsor yang mengharuskan kami untuk putar balik. Jalanan tidak begitu ramah karena berupa tebing dan jurang. Tanahnya yang gembur membuat longsor dimana-mana ketika hujan.
Sesampai di basecamp, tampak para pendaki lainnya sudah bersiap-siap. Malam sebelunya saya mengecek kuota pada hari ini ternyata terpakai semua. Kira-kira 200 pendaki. Jumlah yang sangat banyak. Melihat para pendaki lain yang memperlihatkan wajah bersemangat membuat saya semakin optimis. Disamping itu, hujan juga hanya rintik-rintik yang bisa kami abaikan. Saya pun memberikan semangat pada diri sendiri sambil berdoa. Deni dan Vian kemudian mengurus perjinan dan bertemu dengan porter. Kami menggunakan dua porter untuk membantu membawa barang, mendirikan tenda, dan juga memasak untuk kami. Jadi kami hanya perlu membawa peralatan kami masing-masing. Kami diwajibkan membawa air masing-masing 3 liter air karena di merbabu terkenal dengan tidak adanya sumber air. Hal ini cukup membebani karena menambah berat bawaan. Setelah beres, kami bertemu dan berkenalan dengan porter kami, Pak Pur dan temannya. Saya lupa namanya. Pak Pur kemudian menjelaskan prosedur pendakian kami. Mereka berdua akan duluan ke pos 4 atau sabana untuk membuat tenda dan memasak untuk kami. Dia menyarankan untuk jalan santai saja agak tidak kelelahan. Dia juga mengingatkan jangan terlalu lama beristrahat karena nanti bisa kedinginan, jangan sampai kenyamanan. Setelah melakukan registrasi, Pak Pur membagikan tiket masuk ke Taman Nasional, kemudian kami berdoa dan mengambil foto bersama-sama.
Pendakian resmi dimulai. Saat itu sekita pukul 8.30 pagi. Saya menyetel smart watch saya ke mode hiking.
Seperti instruksi Pak Pur kami memulai perjalanan dengan santai, kecuali Adri. Dia sudah sering naik gunung jadi terbiasa untuk jalan cepat. Saya sebenarnya lebih suka jalan cepat tapi saya juga harus tau ada teman saya yang lain. Dalam perjalanan kami mulai bercanda dan berbagi cerita. Cuaca mulai terlihat lebih bersahapat. Cahaya matahari sempat menyapa kami walupun hanya beberapa menit kemudian ditutupi oleh awal lagi. Dalam perjalanan menuju pos 1, tim kami terbagi. Adri yang paling di depan, disusul oleh saya, Angel, dan Fitri. Dibelakang ada Deny dan Vian, dua sahabat yang tak terpisahkan. Haha. Deny membawa tas yang lumayan berat dan Vian yang mulai kebahisan nafas. Katanya karena jarang olahraga akhir-akhir ini. Tim saya kadang berhenti sejenak mengunggu mereka. Setelah itu kami lanjut lagi ketika mereka menghampiri kami.
Di Pos 1 kami berhenti cukup lama. Kami mengisi tenaga dengan cemilan dan juga air. Tampak beberapa grup pendaki juga melakukan hal yang sama. Satu hal yang saya sadari adalah banyak pendaki yang melekatkan salonpas yang sudah dipotong-potong di hidung mereka. Katanya fungsinya agar mereka tidak flu. Entah benar atau tidak. Di pos ini ada beberapa monyet mendekati para pendaki karena tertarik dengan makan yang mereka bawa. Kami harus hati-hati karena monyet-monyet ini sangat agresif. Saya menyempatkan diri untuk mengambil beberapa video dan foto sebelum kami melanjutkan perjalanan.
Perjalanan menuju Pos 2 mulai menampakkan tantangannya. Hujan sudah mulai turun. Kami harus menggunakan jas hujan yang sudah kami persiapkan. Memakai jas hujan dalam mendaki tidak terlalu menyenangkan karena pergerakan menjadi terbatas. Namun ini harus dilakukan agar kita tidak basah dan kedinginan. Sesekali kami berhenti untuk beristirahat. Medan yang dilalui juga tidak semudah perjalanan dari basecamp ke pos 1. Jalanan yang licin membuat pergerakan kami melambat. Selain itu kemiringan jalanan juga semakin terjal. Ada kejadian lucu saat itu. Yang bertugas untuk memilih jalan yang dilewati dalah saya. Ada saat diamana saya mengambil jalur sebelah kiri, karena saya melihat ada tanda. Di jalur itu, kami harus melewati medan dengan berpegangan pada tali tambang yang sudah disediakan oleh pengelola. Dengan susah payah kami mencapai ‘puncak’. Kami memutuskan untuk menunggu Deny dan Vian karena mungkin mereka butuh bantuan. Namun setelah beberapa saat menunggu, mereka tidak tampak. Pendaki lain di belakang kami pun tidak terlihat. “Mungkin kita salah ambil jalur” Kata Fitri. Saya meyakinkan mereka bahwa ini jalur yang benar karena ada tanda. Selalin itu terdengar suara-suara pendaki lain. Kami memutuskan untuk menunggu lebih lama. Hasilnya sama, tidak satu pun pendaki yang lewat, walupun kami mendengar suara-suara ribut. HOrorrr. Hahaha. Saya memutuskan untuk lanjut naik dan melihat keadaan. Benar saja, ternyata ada jalur lain yang lebih muda. Ternyata kami mengambil jalur yang ektrim. Kami sempat bertemu pendaki yang sudah turun dan dia mengatakan bawah ada dua jalur. Kami pun menertawakan diri kami sendiri.
Hujan tidak berhenti-berhenti. Kami tetap melanjutkan perjalanan. Dalam keadaan seperti itu kami meminimalisir untuk berhenti terlalu lama, karena takut dingin. Selain itu jarak ke pos 2 semakin dekat. Kami mulai bertemu dengan pendaki-pendaki yang sudah turun. Seperti biasa kami saling meyapa dan menanyakan apakah masih jauh? Basa basi antar pendaki. Selain itu mereka juga menyebutkan Badai. Hmm.. Saat itu saya kembali mengingat perkiraan cuaca yang saya cek sebelumnya. Namun karena ekxpresi mereka yang tidak menampakkan kengerian atau urgensi, saya mengabaikannya. Dalam pikiran saya “oh mereka dapat badai angin kencang ketika berada di dalam tenda”. Jadi mereka baik-baik saja. Ternyata keadaannya tidak seperti itu, keadaan yang saya ketahui beberap jam setelah ini.
Saya, Angel, dan Fitri meneruskan perjalanan tanpa menunggu Deny dan Vian lagi karena kami sepakat untuk makan siang di pos 2. Namun keadaan berkata lain. Sesampai di pos 2, cuaca jauh lebih buruk. Hujan semakin deras dan tidak ada tempat untuk berteduh. Tidak ada pendaki lain yang berhenti. DIsitu kami bertemu dengan Adri yang sudah menunggu kami. Dia tampak kedinginan karena menunggu terlalu lama. Kami pun berdiskusi, dia menyarakan untuk makan siang di Pos 3. Menurut Porter, di Pos 3 ada shelter yang bisa kami gunakan untuk berteduh dan menikmati makan siang kami. Namun kami sempat bimbang karena Deny dan Vian belum muncul juga. Saya teringat kondisi Vian yang ngosh-ngosh-an. Bagaimana kalau mereka mencari kami nanti? Selain itu, makanan Fitri ada di Vian karena mereka sempat bertukar tas. Saat itu kondisinya semakin buruk, tidak mungkin kami berdiri disini menunggu dalam keadaan hujan. Kami bersepakat untuk melanjutkan perjalanan ke pos 3.
Perjalanan ke Pos 3 lebih ekstrim dari sebelumnya. Hujan yang semakin deras, udara semakin dingin, dan juga angin yang kencang. Adri kemudian berjalan lebih cepat dan kami pun terpisah. Dia sudah kedinginan jadi harus terus bergerak menuju pos berikutnya. Tampak disekeliling kami kabut yang semakin tebal. Tidak terlihat pemandangan apa daibalok kabut itu. Kami fokus untuk melihat jalanan terjal di depan kami. Ada saat diamana kami memutuskan beristrahat sebentar dan mengambil gambar dengan background pohon yang sudah mati. Kami cukup antusian karena kami akan segera makan siang di Pos 3.
Mendekati Pos 3, keadaan berubah drastis. Dari kejauhan kami melihat sebuah benda berbetuk segitiga yang berada di puncak bukit. Itu adalah shelter yang disebutkan oleh porter kami. Kami sempat bertanya kepada pendaki disekitar situ apakah ini pos 3. Mereka mengiyakan. Kami pun munuju kesana ke shelter. Namun ternyata jalanan ke shelter itu berada di pudak bukit. Angin dari lembah pun menerpa kami. Tampak tenda-tenda hampir terbang tertiup angin. Pemandangan yang lumayan mengerikan jika kit aberada di dalamnya. Setelah berjalan sekitar 100 meter dari lokasi tenda tadi, kami pun sampai di shelter.
Shelter ini terlihat kokoh, terbuat dari plat aluminium dengan cat hijau. Diatas puncaknya terlihat ada antena radio. Di depan shetel ada teras untuk meletakkan tas pendaki. Saya melepaskan tas dan trekking pole saya di ujung. Saya mengeluarkan makanan dan minuman kemudian membawanya masuk. Angela tetap membawa tas dia masuk, sesuatu yang kemudian kami syukuri kemudian. Di dalam sheleter ada beberapa orang yang juga mencari perlindungan dan untuk makan. Suasananya tidak terlalu bersih karena banyak kotoran di lantai. Tampak seperti digunakan oleh pendaki-pendaki di hari sebelumnya. Kami menikmati makan siang kami disitu. Angela dan Fitri berbagi makanan. Saya dan Adri dengan makanan masing-masing. Kami memutuskan untuk berdiam sebentar sambil menunggu Deny dan Vian. Mungkin ini salah satu keputusan yang kami syukuri kemudian. Sambil menunggu, saya ngobrol dengan pendaki lainnya yang teranyata adalah tim MAPALA dari makassar. Saya pun mengeluarkan logat makassar saya. Haha. Mereka ke shelter hanya untuk memcask makanan. Salah satu dari mereka memasak mie dan beberapa gorengan menggunakan kompor dan wajan yang didesain khusus untuk kepraktisan. Pemandangan khas para pendaki. Menurut info mereka, mereka sudah summit sehari sebelumnya. Mereka sempat bercerita bahawa kondisi cuaca kemarin lumayan ektsrim tapi mereka bisa sampai ke puncak. Setelah menyelesaikan makanan, mereka kembali ke tenda mereka di Pos 3 untuk melanjutkan perjalanan ke basaecamp.
Sambil menunggu saya memperhatikan seisi ruangan dari shelter tersebut. Saat itu kami duduk di posisi paling belang, jauh dari pintu masuk. Seluruh dinding atau sisi shelter ditutupi dengan aluminium foil. Ini untuk menjaga ruangan tetap hangat. Di dinding bagian belakang, tepat diatas kepala saya terdapat kota P3K. Saya membuka kotak itu, ada beberapa obat dan juga perlengkapan darurat yang sudah tidak terlalu rapih peletakannya. Di bawah lantai di sudut-sudut tergeletak beberapa botol oksigen bekas. Saya belum ‘curiga’ saat itu, kenapa banyak botol oksigen berserakan. Di atas kami terdapat mezzanin atau lantai dua. Jadi setengah dari ruangan itu ada lantai dua yang menempel ke kedua sisi kiri kanan atap shelter. Untuk naik keatas, ada tangga di bagian belakang. Menurut info dari pendaki lain, laintai dua digunakan sebagai mushollah.
Kedua sahabat itu belum muncul juga, hujan pun tidak menampakkan ciri-ciri kan redah. Angin pun semakin kencang. Saya semakin kuatir.
Saat itulah pengalaman horror dimulai.
Saya melihat jam saya, sudah pukul 1 siang lewat. Cuaca semakin buruk. Kami masih bertahan menunggu teman kami untuk menuju ke Pos 4 atau Sabana dimana porter kami membangun tenda. Waktu pun berlalu. Satu-persatu pendaki masuk ke shelter. Mungkin setiap beberapa menit ada saja yang datang. Awalnya kami masih bisa duduk selonjoran. Kemudian kami harus duduk jongkok. Sampai akhirnya kami harus berdiri. Angin kencang dan hujan deras membuat keadaan semakin mencekam. Suara atap atau dinding tempat berlindung memekakkan telinga.
Pukul 3 sore, teman kami belum muncul. Saat itu shelter sudah penuh sesak dengan para pendaki yang mencari perlindungan. Sesekali ada yang menggedor pintu minta untuk dimasukkan kedalam shelter. “Woi, tolong pengertiannya, jangan ada yang duduk. Kasihan teman yang lain kedinginan”. Setelah itu sudah tidak memungkinkan untuk duduk di lantai. Semua harus berdiri. Untuk mengalihkan perhatian, saya pun membuka percakapan dengan salah satu tim pendaki. Ternyata mereka adalah peserta open trip. Anggota-anggota mereka juga sudah tercerai berai. Ada yang masih di jalan ada yang sudah menuju pos 4.
Tiba-tiba ada yang meminta saya untuk mencari obat dan selimut silver di kotak p3k. Ternyata ada yang sakit dan kedinginan. Saya memberikan apa yang mereka minta walupun ada yang kurang. Pendaki lain pun memberikan apa yang mereka punya. Keadaan semakin gawat. Tampak orang-orang tenggelam dengan pikiran mereka masing-masing.
Saya berusaha untuk mencari info sebanyak-banyaknya. Apakah ada yang pernah mendaki disini. Teranyata di sampaing saya ada seorang pendaki yang sudah sering membawa tim ke puncak merbabu. Saya cukup senang karena saya bisa mendapatkan referesni yang valid. Dia menyarankan untuk naik segera ke Pos 4, karena menurut dia angin diatas tidak sekencang di shelter ini.
Sebagai informasi, shelter itu biasanya dibuat di tempat yang mudah terlihat dari mana pun. Jadi jika ada pendaki yang membutuhkan tempat perlindungan, dengan mudah mereka bisa menemukannya. Karena itu, shelter ini dibangun di tempat yang tiinggi atau biasanya di puncak bukit. Keadaan ini membuat shelter akan terkena angin dari berbagai penjuru. Makanya konstruksi shelter itu harus kuat.
Pendaki tadi juga menceritakan bahwa medan yang harus dilalui sangat eksktrim. Dalam keadaan seperti ini, hujan dan angin, haru ektra hati-hati. Ada bagian dimana kita harus beepegangan ke tali dan kemiringan nya bisa lebih dari 45 derajad. Istilahnya dengkul ketemu jidat.
Saya menanyakan apakah dia mau naik juga. Dia mengaktakan dia akan naik kalau teman-teman dia memutuskan untuk naik. Tapi timnya juga ada diaman-mana, tidak mungkin dia meninggalkan timmnya. Awalnya saya berharap bisa ikut dengan mereka. Saya pun berdiskusi dengan Adri, Angel, dan Fitri. Apakah kita paksakan naik?
Resiko yang akan kami hadapi adalah kedinginan dan basah menuju ke pos 4. Selain itu kami harus hati-hati dengan tanah yang licin, angin kencang. Kami pun maju mundur apakah akan naik. Adri juga penuh dengan pertimbangan. Dia juga mengusulkan untuk naik saja, sebelum gelap. Karena jika kami naik ketika gelap, tantangannya akan semakin berat.
Angela tampak masih ragu. Dia mengusulkan untuk menunggu sampai jm 4.30. Kami masih berharap bahwa badai ini akan segera reda. Selama menunggu, saya berfikir kalau kami menunggu disini, resiko apa yang akan kami hadapi? Kalau kedinginan sepertinya tidak. Shelter ini cukup hanngat karena lapisan aluminium foil. Selain itu, jumlah orang didalam shelter ini membuat udara semakin hangat. Hanya ada satu yang mengganggu pikiran saya, apakah shelter ini cukup kuat? Keadaan saat itu susah untuk dijelaskan. Angin dan hujan membuat dinding shelter berdentum sangat keras. Petir yang bergemuruh. Angin yang menerpa sisi dari shelter membuat bunyi berdecit seakan sambungan-sambungan dari baja-baja ringan ini akan terlepas.
Jumlah pendaki yang datang pun semakin bertambah, lantai dua yang sebelumnya dikhususkan untuk mushola pun terisi penuh. Keadaan ini membuat semakin buruk karena dengan bebean yang berat di lantai 2, membuat konstruksi shelter semakin oveload. Kami pun melarang orang-orang untuk naik. Bahkan menyuruh mereka untuk turun.
Melihat keadaan ini, rasa panik mulai masuk ke pikiran saya. Saya mencoba untuk menarik nafas dalam-dalam, hal yang sering saya lakukan ketika persaan panik datang. Namun suara hantaman angin dan hujan membuat semua itu hampir sia-sia. Phobia saaya akann ruang sempit pun mulai kambuh. Saya mulai sesak. Hal ini diperparah karena posisi saya dan teman-teman saya saat itu ada di bagian paling belakang. SUdah pasti oksigen di tempat itu sangat tipis karena jumlah orang yang sesak. Jalur udara pun hanya dari pintu utama.
Saya pun berteriak “ Tolong pintunya dibuka saja. Disini kekurangan oksigen”. Tentu saja hal ini membuat yang lain protes karena yang dekat dengan pintu kan kedinginan. Perdebatan ini pun terulang sampai keesokan harinya.
Saya berfikir, kalau saya terus disini, saya akan kehabisan oksigen dan panik. Waktu sudah menunjukkan 4.30. Selama itu kami masih berunding akan melanjutkan perjalanan atau tidak. Akhirnya kami memberanikan diri untuk meneruskan pendakian kami. Kami inta ijin untuk diberikan jalan menuju pintu. Untuk menuju pintu saja butuh beberapa saat karena orang-orang sudah penuh sesak.
Saya dan Adri sudah ada di dekat pintu, Angela dan Fitri pun mengikuti. Beberapa pendaki di dekat pintu pun bertanya.
“Kalian mau kemana?”
“Kami mau lanjut ke Pos 4”
“Kalian yakin? Keadaan disana lebih parah. Disini ada beberapa pendaki yang sudah sampai di pos 4 akhir nya turun ke pos 3 ini untuk berlindung”
“Oh ya?”
Kami pun terdiam beberapa saat.
“Adri, sepertinya kita disini saja. Kalau kita disni setidaknya kita tidak kebasahan. Dan juga belum tentu kita bisa beretmu dengan porter kita”.
Tiba-tiba dari kejauhan tampak beberapa pendaki dengan perlahan menuju shelter.
Angin yang bertiup kencang membuat mereka harus berjalan lambat cenderung merangkak. Ada bebrapa pendaki perempuan yang hampir terlempar oleh angin kencang.
Saat itu juga kami memutuskan untuk tetap berada di shelter ini. Kami syok.
“Hipotermia, ada yang hipotermia. Kasih jalan.. Kasih jalan.”
Saya dan teman-teman saya pun mengindar dari pintu untuk memeberikan jalan.
Kami menuju ke bagian sebelah kiri shelter tepat di sudut dan dekat jendela.
Ini adalah keputusan tepat kedua yang kami putuskan.
Pendaki yang hipotermia tadi pun mendapat pertolongan dari rekan-rekan pendaki lain. Saat itu kedaan sangat genting. Tidak semua dari kami pernah mengalami keadaan ini. Hipotermia adalah kata yang menjaji momok bagi para pendaki. “Apakah dia akan selamat?” Mungkin itu yang ada di benak semua orang, atau setidaknya saya.
Selain itu ada yang pingsan dan pusing-pusing. Kami hanya bisa mendengar dari kejauhan, karena kami pun tidak bisa melihat mereka. Mereka
Di tempat ini kami bersyukur karena dekat dengan pintu. Tidak dingin dan juga ada jendela. Saya pribadi sangat lega karena phobia saya bisa teratasi. Saya bisa melihat keluar jadi menghilangkan kesan sempit.
Malam tiba, suasana menajadi gelap. Lampu darurat untungnya masih berfungsi. Beberapa pendaki juga tampak menyalakan senter yang mereka bawa. Tidak ada tanda-tanda bahwa badai ini akan berhenti. Beberapa orang juga masih tetap datang untuk mendapatkan perlindungan, membuat ruangan semakin sempit. Tidak ada celah untuk duduk. Kami mulai membagi-bagi makanan yang kami miliki ke pendaki yang lain, kebetulan tas kami sempat bawa masuk yang isinya cemilan.
Badai di luar semakin ganas, suara angin dan hujan menjadi satu menghantam atap logam dari shelter. Bunyi yang dihasilkan melemahkan mental kami. Sesekali dinding shelter tampak seperti mau roboh. Pendaki yang ada di sebelah kanan mencoba menahan diding menggunakan badan mereka.
Sesekali angin berhenti selama 2-3 detik menciptakan keheningan yang tiba-tiba. Momen ini seperti alam memberikan kesempatan kepada kami untuk menarik nafas, namun kemudian bunyi hantaman lebih keras tiba-tiba memecah keheningan tersebut.
Saya selalu melihat jam tangan saya, memastikan berapa jam lagi pagi akan tiba. Biasanya ketika saya sering melihat jam, waktu rasanya menjadi lebih lama. Namun kali ini sepertinya waktu tidak terasa belalu cepat.
Setiap jam sepertinya ada saja kegaduhan, mulai dari orang yang hipotermia, pingsan, orang yang berusaha untuk turun dan sebagainya.
Tegah malam tiba-tiba ada beberapa orang datang dan berteriak
“Ada yang namanya Angela?”
Itu adalah suara Vian dan Deni.
“Adaaaaaa”
Puji Tuhan, kami sangat lega. Ternyata mereka selamat. Mereka pun berusaha masuk, tapi ruangan sudah penuh. Namun akhirnya Deni berhasil menghampiri kami.
Ternyata dia Hipotermia!
Dia sudah mulai mengigau. Kami berusaha melepaskan baju yang dia pakai agar tidak dingin. Untung Adri punya baju ganti. Saya menggosok tangannya, berusaha membuat dia lebih hangat. Kami memberikan tempat di pojok. Ada mas-mas pendaki yang membawa juga peralatan masak dia dan menyempatkan untuk menyalakan kompor dan membuat Energen hangat. Ini berkat yang kami sangat syukuri, di tempat dan keadaan seerti itu, kami diberikan kemudahan.
Setelah Deni sudah dalam keadaan yang aman, Vian pun bercerita bahwa mereka sudah sampai di Pos 4 dengan menerjang hujan. Mereka berfikir bahwa kami sudah sampai di Pos 4 terlebih dahulu bersama porter, namun ternyata tidak menemukan kami. Vian pun sempat mengalamai hipotermia di Pos 4. Setelah berbagai pertimbangan, porter mengajak mereka turun mencari kami di pos 3. Pendaki lain pun katanya sudah tidak ada di Pos 4.
Kejadian berikutanya adalah ketika kami berusaha menghubungi orang di basecamp. Di dalam ruangan tersebut ada radio, namun speertinya sudah tidak berfungsi. Namun ada juga CCTV yang kadang lampu indikatornya menyala. Sepertinya ini berfungsi. Kami pun berusaha membuat bahasa isyarat bahwa kami memerlukan bantuan. Steelah beberapa saat, saya mendapat ide untuk menulis pesan di HP dan menunjukkannya ke CCTV. Kebetulan saat itu posisi CCTV ada diatas kepala saya. Saya menuliskan beberapa pesan bahwa Shelter sudah overcapacity dan kondisinya semakin memprihatinkan. Banyak yang sakit. Setelah itu kami pasrah apakah mereka bisa baca atau tidak.
Semua orang mulai merasa kecapean dan mengantuk. Kami tidak bisa tidur dalam keadaan seperti ini. Tampak beberapa orang berusaha untuk membuat ruangan untuk sekedar jongkok dan tidur. Hal ini menyebabkan di beberapa bagian shelter menjadi lebih sesak. Seseorang kemudian berinisiatif untuk mengambil komando. Dia berusaha untuk mebagi giliran duduk dan tidur. Setelah beberapa cara, ditetapkan untuk membuat shaft selang seling. Kemudian saya mengambil tugas sebagai timer. Kami bersepakat bahwa setiap orng bisa tidur selama 1 menit. Tapi ternyata praktinya tidak mudah. Tidak ada cukup ruang untuk membuat formasi itu. Hasilnya semuanya gagal, setelah satu kali percobaan.
Saya mencoba berbincang dengan Mas tadi yang kebetulan sudah ada di samping saya. Ternyata dia baru pertama kali naik gunung. Miris, percobaan pertama sudah diberikan cobaan seperti ini. Ternyata dia dari Depok dan diajak oleh teman-temannya untuk naik gunung.
Beberapa saat kemudian, tiba-tiba ada Ranger datang ke Shelter. Ternyata dia melihat pesan yang kami kirimkan di CCTV. Kata-kata yang dia sampaikan persis sama dengan tulisan yang saya perlihatkan di CCTV. Dia pun menjelaskan bahwa ini adalah Badai Topi. Badai ganas yang tidak akan berhenti dalam waktu dekat. Dia menyarankan untuk meninggalkan shelter ini segera.
Semua pun panik. Semua berfikir, apakah kami bisa selamat jika kami turun saat itu juga. Keadaan diluar angin kencang, hujan, gelap, jalaanan licin. Setelah berdiskusi, beberapa orang akhirnya memutuskan untuk ikut dengan Ranger tersebut. Mungkin sekitar 15 orang. Mereka memberanikan diri menerjang badai. Kami pun berterima kasih ke mereka karena sudah mau ‘berkorban’ dan mendoakan mereka agar selamat. Setelah mereka keluar, ternyata ruangan tidak menjadi lebih lega. Ternyata beberapa orang sudah mengambil posisi duduk dan tidur. Kami pun kecewa, namun mau gimana lagi pasti mereka juga capek. Tim saya pun memutuskan untuk bertahan dengan berdiri.
Saya masih di posisi di jedela. Saya melihat keluar, tampak ada beberapa titik cahaya menghampiri shelter. Semakin mendekat, tampak beberapa sosok berlali ke arah kami. Ternyata mereka adalah tentara. Seketika harapan pun muncul dalam benak saya. Akhirnya ada pertolongan. Saya berfikir dengan jumlah mereka yang banyak, bisa segera menevakuasi kami. Saya cukup kagum karena mereka datang dengan baju seadanya.
Beberapa saat saya tunggu, kok mereka tidak masuk. HArapan saya mereka akan masuk kemudian berusaha menenagkan kami kemudian memberitahukan plan untuk evakuasi. Sejam berlalu tidak ada tanda-tanda pergerakan dari mereka. Ternyata mereka datang tidak untuk menyelamatkan kami, tapi juga datang mencari perlindungan. Oh My God.
Walupun demikian, mereka tetap berada di luar dengan perlindungan seadanya. Mereka sepertinya cukup tangguh untuk keadaan seperti ini. Merekam tidak masuk ke ruangan yang akan menyebabkan suasana makin sesak. Saya pun memberitahukan beberapa perserta yang sebelumnya saya infokan bahwa ada tentara datang untuk evakuasi, teranyata tidak seperti tiu :D.
Salah satau hal paling challenging adalah ketika harus buang air kecil. Fitri sepertinya yang paling menderita karena sudah mehan dari sejak sore. Dia tidak mau duduk karena pasti kan membuat dia semakin kebelet. Beberapa orang ijin untuk keluar ruangan untuk buang air kecil, namun ketika akan masuk lagi mereka tidak dapat tempat lagi. Mereka harus berdiam di pintu karena tempatnya sudah diambil orang lain. Niat untuk ijin keluar pun kami urungkan.
Tiba-tiba Deni berbisik kalau dia ingin kencing d botol dan meminta saya untuk ‘melindungi’nya. Setelah berhasil, dia pun memebrikan botolnya ke saya. Kampret :! Dia minta tolong untuk oper ke orang-orang dekat pintu utnuk dibuang. Hahaha.
Beberapa saat kemudian, saya pun mengambil tidakan yang sama. Namun botolnya tidak saya buang langsung karena tidak mau merepotkan yang lain. Saya pun taorh dekat kaki dan memastikan tidak ada yang mengambilnya. Ada momen ketika seorang mba2 mau minum dan tidak mendapatkan air minum. Dia menunjuk ke botol saya, namun saya menolak. Sepertinya dia kesal, akhirnya saya jelaskan bahwa isinya bukan air minum.
Hari sudah subuh dan keadaan di luar masih sama saja. Bunyi atap pun makin terdengar kencang, spertinya ada bagian atap yang sudah rusak.
Tiba-tiba mba-mba yang cukup akrab dengan kami mengalami Asma. Kejadiannya cukup memilukan, teranyata obatnya ketinggalan di tenda mereka. Mereka hars merangkak ke shelter ketika tenda mereka rusak ditiup angin. Untung ada mas-mas yang punya obat asma. Hampir saja dia lewat.
Keadaan kembali tegang. Bisakah kami selamat?
Singkat cerita, pagi pun tiba. Cahaya pagi mulai nampak. Namun angin masih saja bertiup kencang menghantam shelter kami. Semua pun bergembira karena sudah bisa melewati malam yang horror. Kami disarankan untuk segera turun tanpa menunggu badai reda, karena badainya mungkin akan beralngsung cukup lama.
Satu persatu kelompok mempersiapkan peralatan mereka yang ada di luar. Tas-tas sudah berhamburan. Ada yang tertiup sampai di lembah. Ternyata untuk turun memerlukan usaha yang ekstreme karena badan bisa tertiup angin. Kita harus berebegangan satau sama lain. Paling aman adalah jalan sambil menunduk atau duduk.
Tim saya meninggalakan Shelter paling terakhir karena porter kami menghimbau untuk makan dulu. Porter membuat masakan tahu tempe goreng, telur dan nasi goreng, Keadaan kami jauh lebih baik dari peserta yang lain. Mereka hanya bisa melihat kami. Kami pun membagi beberapa makanan ke mereka.
Singkat cerita, kami menuruni gunung dari Pos 3 sampai basecamp degan selamat.
Puji Tuhan.
Cerita-cerita pengalaman ini pun terus kami ulang-ulang sampai di jakarta. 😀